Di Kabupaten Indramayu, umumnya upacara adat Nadran diselenggarakan antara bulan Oktober sampai desember yang bertempat di Pantai Eretan Kulon, Eretan Wetan, Dadap, Limbangan, dan Karangsong.
Nadran adalah upacara adat para nelayan di pesisir pantai utara Jawa, seperti Subang, Indramayu dan Cirebon yang bertujuan untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan, mengharap peningkatan hasil pada tahun mendatang dan berdoa agar tidak mendapat aral melintang dalam mencari nafkah di laut.
Dan inilah maksud utama dari upacara adat Nadran yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Selain itu juga upacara ritual adat, kesenian tradisional serta pasar malam pun diselenggarakan selama seminggu. kesenian pakemplung bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.
Kata Nadran sendiri, menurut sebagian masyarakat, berasal dari kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam: pemenuhan janji. Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan).
Sejarah nadran dibagi menjadi tiga tradisi, yakni Tradisi Nadran Pra Islam, Tradisi Nadran setelah kedatangan Islam dan Tradisi Nadran saat ini. Tradisi Nadran Para Islam Buku penelitian Heriyani Agustina Kepel Press-2009 menceritakan tentang buku ’Negara Kertabumi’ karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) menyebutkan, asal-usul pelaksanaan budaya Nadran berawal pada tahun 410 M.
Ketika itu, Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu (yang sekarang Kec.Talun, Kab.Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India.
Dan saat ini sungai itu dikenal dengan nama Sungai Kriyan yang ada di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci pun dilakukan sebagai pemujaan kepada sang pencipta. seni panjang jimat asli Cirebon bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.
(Sumber Kartani dan Kaenudin) sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi asli Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan di beberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan.
Karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang menyebabkan nelayan tidak dapat melaut.
Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukannya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Karena sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung, ritual yang lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan untuk memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Dan mntra itu pun berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang dianggap telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam mencari rezeki di laut.
Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Untuk sesajen yang diberikan, disebut ancak yaitu berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kembang tujuh rupa, kerbau, makanan khas, buah-buahan dan yang lain sebagainya.
Sebeleum sesajen tersebut dilepaskan ke laut, ancak tersebut akan diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti genjring, tarling, telik sandi, barongsai, seni kontemporer (drumband), jangkungan, di setiap nadran selalu digelar wayang kulit selama 1 minggu.
Selain itu, dalam upacara nadran juga dilakukan permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut, serta tangkapan hasil laut mereka berlimpah pada tahun mendatang.
Nadran atau kadang disebut labuh saji dapat juga diartikan sebagai sebuah upacara pesta laut masyarakat nelayan sebagai perwujudan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan-Nya lewat hasil laut yang selama ini didapat.