Upacara Adat Sedekah Bumi Di Cirebon dan Penjelasannya

Upacara adat sedekah bumi dilaksanakan pada cawu ke-4 (bulan Oktober) pada setiap tahunnya. Tradisi ini dilaksanakan hampir di seluruh desa-desa di Cirebon, misalnya yang masih kuat untuk melaksanakan tradisi ini adalah Desa Astana Gunung Jati yang termasuk ke dalam Kecamatan Gunung Jati sekarang.

Untuk pelaksana adat juga didukung oleh para pemuka masyarakat dan juga tokoh agama di desa-desa yang berkaitan dengan keraton Cirebon, mereka disebut dengan Prenata.

Untuk pelaksanannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu mengambil ikan dari Balong milik keratin di beberapa daerah (masih ada di desa Pegagan) oleh Ki Penghulu bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun.

Kemudian Ki Penghulu bersama dengan Ki Jeneng Ngaturi Pasamon ditetapkan untuk hari pelaksaan sedekah bumi. Dan sejak ditetapkannya hari pelaksanaan itu, disebarkanlah secara getok tular kepada seluruh penduduk bahwa akan diadakan sedekah bumi, melalui para pemuka adat penduduk mengirimkan ”Gelondong Pengareng-areng”.

Masyarakat pantai utara Cirebon, yang terkenal dengan udang dan juga petisnya, bermata pencaharian utama bertani dan juga melaut sejak zaman dahulu sudah berkembang. Dalam usaha bertani dan melaut pada zaman sebelum Islam, mereka terikat kepercayaan agama nenek moyang.

Dan pada masa itu masyarakat percaya kepada dewa penguasa bumi, dewa penguasa laut dan lain sebagainya. Mereka menganggap para dewa itu sebagai sesembahan. Keyakinan atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka percaya.

Dan dengan begitu mereka berharap dapat terhindar dari malapetaka alam yang murka dan juga mendapatkan kemudahan dalam mencapai hasil-hasul usahanya.

Upacara yang baru ini untuk pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482-1568M), tempatnya di Puser Bumi. Puser Bumi yaitu sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali Sanga. inti sari dari acara sedekah bumi bisa anda perhatikan baik – baik

Mengenai kedudukan Puser Bumi, ada penjelasan bahwa setelah Sunan Ampel (Jawa Timur) ke Cirebon yang letaknya di Gunung Sembung-sekarang disebut Astana Gunung Jati.

Gelondong Pengareng-areng adalah penyerahan secara sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya. Biasanya berupa hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah seperti kembili, ubi kayu, kentang, dan lain sebagainya). Sura gumantung yaitu hasil tanaman di atas tanah seperti sayur mayur, buah-buahan, dan lain sebagainya.

Hasil ternak seperti itik, ayam, kerbau, kambing, sapi, dsb. Juga bagi mereka yang berusaha sebagai nelayan mengirimkan hasil tangkapannya dari laut sebagai rasa syukur dan berbakti kepda kanjeng Sinuhun.

Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan karena paksaan atau peraturan tertentu, tetapi karena kesadaran penduduk itu sendiri dan kemudian dijadikan hukum adat yang aturan-aturan tidak tertulis.

Upacara adat sedekah bumi ditandai dengan Srakalan, pencungkilan tanah, pembacaan kidung yang kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dengan segala bentuk pertunjukan yang berlangsung di alun-alun Gunung Sembung, misalnya reog, kesenian rentena, brahi, terbang, genjring, barongan, berokan, wayang, angklung bungko bahkan sekarang ini ada pertunjukan tarling modern organ tunggal.

Didalam pertunjukan wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah sedekah bumi adalah Bhumi Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan. Dalam lakon Bhumi Loka diceritakan tentang dendam Arjuna atas kematian ayahnya yaitu prabhu Nirwata Kwaca, kemudian terjadilah peperangan dengan putra Pandawa yang dipimpin oleh Gatot kaca.

Prabu Kresna memerintahkan Gatot kaca untuk membuat anjang-anjang tersebut di angkasa dan menyerang mereka dengan ajian Bramusti. Mereka semua akhirnya terbunuh oleh Gatot kaca di atas anjang-anjang yang telah dipersiapkannya. tradisi mudun lemah di cirebon bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.

Bhumi Loka mati terbunuh kemudian menjadi Gludug lor dan Gludug kidul. Lokawati terbunuh menjadi Udan Grantang. Loka Kusuma terbunuh menjadi Kilap, loka sengara mati terbunuh menjadi Gelura.

Dari mitos cerita tersebut maka sedekah bumi dijadikan oleh kepercayaan masyarakat untuk menyambut datangnya musim penghujan. Namun dalam dasawarsa terakhir ini nampaknya makna dari sedekah bumi sudah bergeser dari makna awal. Selain menjadi upacara Ceremony rutinitas biasa sekarang sedekah bumi menjadi daya tarik pariwisata oleh pemerintah.