Perjalanan sastra Jawa yang berlangsung sangat panjang telah banyak diwarnai oleh pengaruh-pengaruh budaya asing yang datang ke tanah Jawa. Pengaruh budaya luar yang paling menonjol dan turut mewarnai adalah budaya Hindu dari India, yaitu pada zaman Renaisan Jawa I antara abad VIII sampai abad XV (masa Jawa Budha dan Jawa Hindu); dan budaya Islam dari Arab, pada zaman Renaisan Jawa II antara abad XVI sampai awal abad XX.
Pengaruh sastra Hindu dari India terhadap karya sastra Jawa ditandai dengan munculnya karya sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa. Karya ini banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya sastra Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu suci karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat.
Artikel terkait:
- karya sastra peninggalan Hindu Buddha
- Jenis jenis seni sastra
- Seni sastra peninggalan Islam
- Unsur unsur seni sastra
Mengenai khazanah sastra jawa yaang membedakan Sastra Jawa dengan sastra yang lain adalah pada penggunaan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki sejarah yang sangat panjang, yakni sejak zaman kuna hingga saat ini. Oleh karena itu Bahasa Jawa dapat dibedakan berdasarkan kesejarahannya. Sejalan dengan itu maka Sastra Jawa juga dapat dipilah-pilah sesuai dengan perkembangan historis Bahasa Jawa.
Selain itu, karena sastra berbicara tentang manusia dan kemanusiaan, maka sastra juga memuat seluruh aspek hidup manusia. Oleh karena itu terdapat berbagai kategori/jenis sastra. Maka Sastra Jawa juga dapat digolongkan berdasarkan jenisnya.
Jenis Sastra Jawa berdasarkan Bahasa Jawa yang digunakan, Sastra Jawa dapat dibedakan menjadi Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan Sastra Jawa modern. Berikut merupakan penjelasanmengenai pembagian Sastra Jawa.
1. Sastra jawa Kuno
Sebagian besar Sastra Jawa Kuno berbentuk puisi atau biasa disebut kakawin menggunakan metrum India, tetapi terdapat juga yang berbentuk parwa (prosa). Bahasa Jawa Kuno sebenarnyatidak hanya digunakan dalam kakawin saja, parwa juga menggunakan Bahasa Jawa Kuno sehingga sebutan Bahasa Kawi lalu menjadi terlalu sempit. Memang pernah ada penggunaan istilah Bahasa Parwa, tetapi sebagaimana sebutan Bahasa Kawi, sebutan Bahasa Parwa juga terlalu sempit, hanya mencakup sebagian saja, tidak mencakup semuanya.
Sastra Jawa Kuno hidup pada abad IX- XVII, atau pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yakni sejak Mataram Hindu sampai Majapahit. Beberapa karya besar zaman Jawa Kuno antara lain:
- Ramayana karya Yogiswara
- Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
- Hariwangsa karya Mpu Panuluh
- Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Panuluh
- Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
- Krsnayana karya Mpu Panuluh
- Smaradahana karya Mpu Dharmaja
- Arjunawijaya karya Mpu Tantular
- Sutasoma karya Mpu Tantular
- Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca
- ubdaka/Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung (Zoetmulder, 1985: 453).
Contoh sastra Jawa Kuno: Kitab Candha Karana, Kakawin Ramayana karya empu Yogiswara, kitab Budha Mahayana Sang Hyang Kamabayanikam, Kitab Brahmandapurana, Serat Mahabarata, uttarakanda, Adiparwa, Sahaparwa, dll.
2. Sastra Jawa Tengahan
Pada abad XVI atau pada masa akhir Majapahit sampai dengan masuknya Islam ke Jawa bahasa jawa tengahan mulai digunakan. Karya Sastra Jawa Tengahan sebagian besar dalam bentuk kidung (Puisi). Berbeda dengan kakawin yang menggunakan metrum India, kidungmenggunakan metrum Jawa. Beberapa karya Kidung antara lain:
- Kidung Harsawijaya
- Kidung Ranggalawe
- Kidung Sorandaka
- Kidung Sunda
- Wangbang Wideya
- Sri Tanjung
Contoh sastra Jawa Pertengahan: Kitab Arjuna Wiwaha, Kakawin Kresnayana, Kakawin Sumanasantaka, Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bhomakawya, Kakawin Bhatarayudha karya, Hariwangsa, dan Gathotkacasraya, Kakawin Wrettasancaya dan Lubdhaka, Negara Kertagama, Kakawin Arjunawijaya dan Kitab Sutasoma, Kitab Nawaruci
3. Sastra Jawa baru
Sejak masuknya Islam ke Jawa penggunaan bahasa jawa baru mulai digunakan, dan semakin berkembang saat kerajaan Demak berkuasa. Berbeda dengan sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Tengahan yang tidak menyisakan sastra lisan, Sastra Jawa Baru masih meninggalkan sastra dalam bentuk lisan. Sastra Lisan kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama folklor setempat. Sastra Lisan ini sering juga disebut sebagai Cerita Rakyat.
Artikel terkait: Kebudayaan Jawa
Contoh karya sastra Jawa Baru : Babad Dipenegoro I, Babad Diponegoro III, Bendhe Ki Becak, Serat Jatimurti, Serat Madurasa, Kasarasing batin, Wedharama Winardi, dan artikel-artikel Ki Hajar Dewantara.
Berikut merupakan beberapa sastrawan atau pujangga selama abad XVIII dan XIX, dikenal tiga belas nama tokoh pujangga besar di masa sastra jawa baru, diantaranya adalah:
- Pangeran Adilangu, karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis.
- Carik Bajra), karyanya adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
- Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803), karya-karyanya adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka, Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), Babad Pakepung.
- Raden Ngabehi Yasadipura II, karya-karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat Baratayuda dan Serat Ramayana.
- Raden Ngabehi Ranggawarsita, karya-karya yang banyak dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.
4. Sastra Jawa Modern
Kemunculan Sastra Jawa Modern bersamaan dengan munculnya penerbit dan surat khabar, seperti Penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani (1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo (1920) dan lain-lain. Tokoh Sastra yang muncul pada masa ini adalah Ki Padmosusastra, yang oleh Imam Supardi dijuluki “Wong mardika kang kang marsudi kasusastran Jawa” (Suripan, 1975: 8). Ki Padmosusastra lebih banyak menulis prosa daripada puisi (tembang). Ki Padmosusastra juga menerbitkan karya-karya pujangga sebelumnya. Beberapa karyanya antara lain: Rangsang Tuban, Layang Madubasa, Serat Pathibasa.
Pada periode ini banyak karya berupa kisah perjalanan, misalnya Cariyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Nagari Welandi tulisan RMA Suryasuparta. Terdapat juga karya terjemahan dari sastra dunia, seperti Dongeng Sewu Setunggal Dalu. Sastra Jawa Modern periode 1920 – 1945 sepenuhnya didukung oleh penerbit Balai Pustaka, Majalah Panjebar Semangat.
Novel pertama diterbitkan tahun 1920 berjudul Serat Riyanto tulisan RM Sulardi. Sejak tahun 1935 crita sambung mulai berkembang, diawali oleh cerita bersambung karya Sri Susinah dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” (PS No. 44 Tahun III, 2 Nov 1935). Disusul kemudian dengan perkembangan crita cekak yang dimulai oleh terbitnya karya Sambo yang berjudul “Netepi Kuwajiban” (PS No. 45 Tahun III, 9 Nov 1935). Geguritan muncul agak belakangan, yakni berjudul “Dayaning Sastra” karya R. Intoyo dalam majalah Kejawen No, 26 tanggal 1 April 1941. Sejak saat itu Sastra Jawa Modern terus berkembang hingga saat ini dengan didukung oleh ratusan pengarang yang masih setia.
Artikel terkait:
Demikian pembahasan mengenai seni sastra jawa dan perkembanganya hingga saat ini. Semoga penjelasan diatas dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai budaya jawa dan seni jawa secara khususnya dan dapat bermanfaat sebagai bahan pembelajaran.