Suku Bugis merupakan suku bangsa Indonesia yang mendiami sebagian besar wilayah di Sulawesi Sealatan. Suku Bugis dikenal sebagai suku perantau yang banyak meninggalkan wilayah aslinya untuk menyebar ke daerah-daerah lain. Salah satu nilai kebudayaan suku Bugis yang paling tua adalah adat dalam mempertahankan harga diri. Masyarakat Bugis bisa melakukan segala hal untuk mempertahankan harga dirinya. Bahkan, pada zaman dahulu bila terdapat anggota keluarga yang melakukan perbuatan tercela dan mengakibatkan keluarga menanggung malu, maka anggota keluarga yang bersalah bisa diusir atau dibunuh.
Namun demikian, adat ini sudah mulai luntur karena tentunya perbuatan membunuh apapun alasannya, dengan konteks hari ini bisa dikenai sanksi hukum. Namun, jiwa dan kepribadian keras untuk senantiasa menjaga harga diri, masih tetap dipatuhi dan dijaga hingga saat ini. Berikut ini terdapat beberapa nilai kebudayaan suku Bugis yang masih dipertahankan secara turun temurun dan menjadi warisan budaya bagi masyarakat Bugis.
Sejarah Penamaan
Penyebutan nama “Bugis” berawal dari penyebutan To Ugi. To Ugi memiliki makna pengikut Ugi. Ugi sendiri merupakan sebutan bagi Raja pertama yang menguasai Pammana (Kabupaten Wajo untuk saat ini) yang bernama La Sattumpugi. La Sattumpugi merupakan raja yang dikenal baik, ramah dan dekat dengan rakyat. Oleh sebab itu, rakyat pengikutnya membangun identitas sosial sebagai pengikut setia Raja dengan menamai diri sebagai To Ugi. Nama To Ugi ini kemudian menjadi dasar sebutan bagi masyarakat Bugis.
Suku Bugis tergolong sebagai suku Melayu Deutero. Golongan ini masuk ke Indonesia setelah migrasi pertama yang berasal dari dataran Asia yang tepatnya dari daerah Yunan. Raja La Sattumpugi yang menjadi cikal bakal terbentuknya Suku Bugis teridentifikasi berasal dari Cina. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa Raja La Sattumpugi memiliki putra yang bernama We Cudai.
We Cudai merupakan suami dari Sawerigading yang merupakan anak dari Battara Lattu. Battara Lattu sendiri masih bersaudara dengan Raja Ugi. Kisah Sawerigading merupakan salah satu kisah legenda yang dikenal luas dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo hingga Buton.
Filosofis Adat
Masyarakat Bugis memiliki empat strata adat istiadat. Adat disini merupakan sejumlah tata aturan sosial yang menjadi landasan hukum dan dipatuhi secara bersama oleh keseluruhan masyarakat suku Bugis. Empat strata adat tersebut, yaitu :
- Ade Maraja, yakni sistem adat yang hanya dipakai di kalangan Raja atau pemimpin saja.
- Ade Puraonro, yakni sistem adat yang dilestarikan secara turun temurun sehingga sudah dilakukan sejak lama.
- Ade assamaturukeng, yakni sistem adat atau peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan bersama.
- Ade abiasang, yakni adat yang sudah dipakai dari dulu hingga pada masa sekarang dan sudah diterapkan sebagai kebiasaan di dalam masyarakat.
Dalam Lontara orang Bugis terdapat lima prinsip dasar yang dikenal dengan sebutan pangngadereng, yang terdiri dari :
- Ade adalah sebuah bentuk sikap yang fleksibel dan adaptif terhadap berbagai peraturan hidup bermasyarakat.
- Bicara adalah tata kesopanan dan kesantunan dalam berkomunikasi.
- Rapang merujuk kepada sebuah bentuk tingkah laku atau perbuatan yang baik dan hendaknya diikuti oleh masyarakat. Dengan kata lain adalah sikap ketauladanan.
- Wari adalah aturan yang mengatur mengenai keturunan dan hirarki masyarakat syara dalam hal ini adalah aturan hukum Islam
- Sara atau siri merupakan prinsip dan kepribadian tegas yang melandasi segala perbuatan dan tindakan atau tingkah laku orang bugis.
Baca juga adat suku lain : Kebudayaan suku banjar, Kebudayaan suku dayak
Filosofis Kepribadian Orang Bugis
Orang suku Bugis memiliki konsep kepribadian “Siri”. Maknanya adalah bahwa orang Bugis sangat menjunjung tinggi harga diri. Dalam pepatah orang Bugis dikatakan “ siri paranreng, nyawa pa lao”, yang artinya adalah apabila harga diri telah ternodai maka nyawa lah yang akan jadi bayarannya. Sehingga bila ada seseorang yang merusak harga diri orang lain, maka pertumpahan darah adalah jalan penyelesaiannya. Boleh jadi hampir mirip dengan konsep “harakiri” dalam kebudayaan Jepang.
“Siri na Pacce” merupakan simbol solidaritas kelompok. Harga diri kelompok juga menjadi hal yang utama selain harga diri pribadi. Kata siri dalam bahasa Bugis memiliki arti rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau Pesse artinya tidak tega/kasihan. Sehngga konsep siri na Pacce mewakili empati dan solidaritas kelompok dalam menanggung harga diri bersama. Terdapat 4 bentuk konsep siri dalam adat suku Bugis, yaitu :
- Siri Ripakasiri
Konsep siri ini berkaitan dengan harga diri pribadi dan keluarga. Siri yang satu ini merupakan siri yang pantang untuk dilanggar, karena taruhannya adalah nyawa. Anggota keluarga yang menghancurkan kehormatan keluarga, bisa diambil nyawanya oleh anggota keluarga yang lain.
- Siri Mappakasiri siri
Siri yang satu ini berhubungan dengan etos kerja. Terdapat pepatah orang bugis yang mengatakan “Narekko degaga siri mu, inrengko siri.” Artinya, kalau tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (memalukan). Konsep ini mendorong orang suku Bugis senantiasa menjaga perilaku kerjanya agar tidak membuat harga diri menjadi turun.
- Siri Tappela Siri (Teddeng Siri)
Yaitu rasa malu seseorang yang hilang karena sesuatu hal. Misalkan seseorang yang telah membuat kesepakatan atau janji dengan orang lain kemudian ia tidak dapat menepati kesepakatan atau janjinya tersebut, maka dia dikatakan sudah kehilangan harga diri. Atau dengan kata lain dia sudah mempermalukan dirinya sendiri.
- Siri Mate Siri
Yakni rasa malu yang berkaitan dengan iman seseorang. Bagi orang suku Bugis orang yang sudah mate siri nya atau sudah mati rasa malunya maka orang seperti ini sudah tidak ada harganya lagi. Orang yang sudah mati harga dirinya seperti ini biasa dikatakan seperti bangkai hidup.
Baca juga filosofis hidup suku lain : Kebudayaan suku Jawa, Kebudayaan Suku Madura, Kebudayaan Suku Baduy
Konsep Perkawinan
Orang suku Bugis memiliki beberapa nilai kebudayaan yang menyangkut tata perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini orang suku Bugis memiliki 2 konsep aturan dalam perkawinan.
- Perkawinan Ideal, yakni perkawinan yang dianggap terbaik, namun tidak diwajibkan, antara lain :
- Assialang Marolang, yakni perkawinan yang dilakukan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah atau pihak ibu.
- Assialang Memang, yaitu perkawinan yang dilakukan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu.
- Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan yang dilakukan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu
- Perkawinan sumbang (salimara’), yakni perkawinan yang sangat dilarang untuk dilakukan.
- Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah.
- Perkawinan antara Saudara sekandung.
- Perkawinan antara menantu dan mertua.
- Perkawinan antara paman atau bibi dengan kemenakannya.
- Perkawinan antara kakek atau nenek dengan cucu.
Sedangkan, dalam proses pernikahan, terdapat beberapa kegiatan yang menjadi adat untuk dilaksanakan, diantaranya :
- Mappuce-puce, yaitu kunjungan yang dilakukan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan untuk yang bertujuan untuk meminang (melamar).
- Massuro, yaitu kunjungan yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya yang berkaitan dengan kebutuhan pernikahan.
- Maduppa, yaitu kegiatan untuk mengumumkan kepada seluruh kaum kerabat, keluarga, handai taulan, mengenai perkawinan yang akan diadakan.
Pelajari juga adat nikah suku lain : Kebudayaan Suku Minangkabau, Kebudayaan Suku Aceh
Rumah Adat
Masyarakat Suku Bugis memiliki rumah adat yang unik. Keunikannya terletak pada pembuatannya yang tidak menggunakan paku untuk menyatukan kayu-kayu bangunan. Rumah adat bagi suku Bugis menunjukkan simbol status sosial. Oleh sebab itu terdapat dua jenis rumah adat berdasarkan status sosial orang yang menempatinya.
- Rumah Saoraja (sallasa), yaitu rumah besar yang ditempati hanya oleh kaum keturunan keluarga kerajaan atau kaum bangsawan saja.
- Rumah Bola, yaitu rumah yang ditempati oleh rakyat biasa.
Rumah adat suku Bugis memiliki struktur rumah panggung dimana lantainya memiliki jarak dari atas permukaan tanah. Yang menjadi perbedaan antara rumah saoraja dan bola hanyalah pada luas ukuran dan denah atau komposisi interiornya saja. Namun, secara umum terdapat 3 bagian dalam struktur rumah adat bugis, yaitu :
- Awa Bola, yakni bagian kolong rumah yang biasanya dijadikan tempat untuk menyimpan alat-alat pertanian.
- Badan rumah, yakni bagian utama rumah. Terdiri dari Loteng risaliweng sebagai tempat menerima tamu. Lotang ritenggah, sebagai tempat tidur keluarga. Lontang rilaleng, tempat tidur anak, maupun keluarga lansia serta dapur.
- Rakkeang, yakni loteng (bagian ruang di atap rumah) yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen.
Pada zaman dahulu, rumah adat suku Bugis banyak dipenuhi dengan ornamen-ornamen dari kepala binatang atau tengkorak kepala binatang sebagai sebuah simbol kepercayaan kekuatan yang bisa mengusir makhluk halus. Namun, semenjak Islam masuk ke masyarakat Bugis, ornamen-ornamen semacam itu sudah banyak ditanggalkan dan tidak dipakai lagi.
Baca juga : Kebudayaan Papua, Kebudayaan sunda, Unsur-unsur kebudayaan
Kesenian
Suku Bugis juga memiliki bentuk kesenian khas yang tercermin dalam seni tari dan seni musiknya. Kesenian khas suku Bugis ini masih terus ditradisikan hingga saat ini dan menjadi bagian dari setiap upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis. (baca juga : tarian tradisional indonesia)
1. Seni Tari
Terdapat beberapa tari yang populer dan menjadi ciri khas kebudayaan suku bugis, diantaranya :
- Tari Paduppa Bosara
Tari ini merupakan tari untuk menyambut tamu yang datang. Tari ini adalah jenis tarian selamat datang yang dijadikan sebagai simbol penghormatan kepada tamu.
- Tari Pakarena
Tari ini pada awalnya merupakan tarian yang hanya dipentaskan dalam lingkungan kerajaan. Namun, lambat laun tarian ini justru lebih populer di kalangan rakyat. Tari pakarena mencerminkan adat kepatuhan seorang istri kepada suaminya. Selain itu, tarian ini erat dengan simbol kepribadian wanita yang harus sopan, setia, dan penuh dengan kelembutan.
- Tari Ma’badong
Tarian ini merupakan jenis tarian adat yang ditarikan ketika upacara kematian. Tarian ini ditarikan dengan diiringi syair lagu kadong bodong yang isinya menceritakan hikayat kehidupan mulai dari lahir hingga meninggal.
- Tarian Mabbissu
Tarian ini sedikit mengandung unsur mistis. Biasanya dipertunjukkan ketika pelaksanaan upacara adat. Dalam pementasannya terdapat seseorang yang disebut bissu yang mempertontonkan kesaktiannya, salah satu kesaktiannya adalah badannya yang kebal.
Baca juga : Elemen gerak tari; tarian tradisional papua; tarian tradisional sumatera barat
- Alat Musik
Suku Bugis memiliki alat musik khas yang disebut dengan kecapi. Menurut sejarahnya, kecapi ini ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut. Oleh sebab itu, kecapi dari suku bugis memiliki bentuk seperti perahu. Kecapi selalu dimainkan dalam berbagai kegiatan hajat seperti perkawinan, hajatan, ulang tahun atau pada acara-acara pesta rakyat. Selain Kecapi, suku bugis juga memiliki beberapa alat musik lain, diantaranya Gendang dan juga suling.
- Seni teater
Gandrang Bulo adalah seni teater yang dimiliki oleh suku Bugis. Gandrang Bulo merupakan seni teater yang menggabungkan perpaduan antara musik, tari dan tutur kata. Kesenian ini mengungkapkan kritikan-kritikan yang dikemas kedalam bentuk guyonan atau lelucon semacam komedi atau lawakan. (baca juga : fungsi seni pertunjukan)
Berikut adalah kebudayaan suku bugis yang wajib anda ketahui untuk mengenali bahkan bisa membedakan perbedaan suku budaya antara satu budaya dengan budaya yang lain nya. Apabila anda ingin mengenali budaya – budaya yang lainnya maka anda bisa langsung simak artikel budaya – budaya yang lainnya.