Tutunggulan adalah bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh benturan lesung dan alu. Tutunggulan merupakan kesenian musik tradisional khas Sunda. Ketika keduanya dibenturkan di bagian tertentu, maka akan menghasilkan bunyi tung, trok, dung, trok, maupun prek. Apalagi diiringi kawih-kawih yang dinyanyikan bersama oleh para pemainnya.
Dengan irama dan juga ritme tertentu, permainan yang biasanya dimainkan oleh beberapa orang wanita ini akan menghasilkan musik yang semarak. Terkadang, tutunggulan sengaja dibunyikan dengan keras agar bisa terdengar dari jarak yang cukup jauh. Tutunggulan sering terdengar pada saat-saat tertentu, seperti pada saat penyimpanan padi ke lumbung.
Cukup dengan menggunakan peralatan sederhana, seperti: halu (alu), lisung (lesung), dan juga niru (tampi). Alat musik yang digunakan dalam kesenian ini tidak banyak. Lesung yang juga terdapat di kalangan masyarakat Warungkondang sedikit khas dan juga unik karena masing-masing bagiannya mempunyai fungsi tersendiri.
Bagian-bagiannya adalah: pamebeukan (lubang kecil yang ada di bagian kepala lesung), panyongsong (lubang kecil yang ada di bagian ekor lesung), hulu lesung (kepala lesung), dan pamoroyan (lubang yang terdapat pada badan lesung).
Pada awalnya, tutunggulan berfungsi sebagai alat komunikasi sebelum berkembang menjadi sebuah kesenian. Setelah menjadi sebuah kesenian sekalipun, fungsi komunikasinya masih tetap ada, yaitu sebagai tanda untuk memberitahu bahwa seseorang sedang punya khajat dan untuk memberitahu bahwa calon pengantin laki-laki telah tiba. adat istiadat suku jawa saat upacara pernikahan bisa dijadikan sebagai informasi tambahan.
Fungsi utamanya yaitu untuk memberitahukan kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal suara tutunggulan) ada penghuninya. Dengan kata lain, tutunggulan tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sarana hiburan.
1.Pemain dan Busana
Untuk para pemain tutunggulan semuanya perempuan. Jumlahnya terdiri 8 orang, dengan rincian sebagai berikut: 2 orang pemegang alu-indung yang bertugas sebagai angeran wiletan (keajegan ketukan), 1 orang pemegang alu-koprek yang bertugas memainkan ketukan, 1 orang pemegang alu-mamanis yang bertugas memberi ornamen pada alu koprek, sehingga dapat terdengar bersahutan.
Dan untuk 2 orang pemegang alu-ngalima mempunyai tugas memainkan tabuhan lagu. Sedangkan untuk 2 orang lagi yaitu sebagai pemegang niru. Untuk pakaian yang dikenakan adalah pakaian sehari-hari yang berupa: sinjang, kain kebaya, dan tutup kepala (kerudung). contoh seni budaya nusantara memang harus dilestarikan. Dan anda sebagai generasi muda mempunyai kewajiban untuk melakukannya.
2.Nilai Budaya
Nilai-nilai itu antara lain adalah kegotong royongan, ketertiban, dan juga keteraturan. Sebagaimana kesenian pada umumnya, kesenian tutunggulan jika dicermati secara mendalam juga tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi nilai-nilai lain yang terkandung di dalamnya.
Dengan suka rela para tetangga membantunya sembari ber-tutunggulan, sedangkan nilai ketertiban atau keteraturan tercermin dalam ber-tutunggulan itu sendiri. Dalam hal ini antar pemegang alu harus tahu persis kapan harus menumbuknya, sehingga tidak terjadi benturan antar alu.
3. Fungsi
Tutunggulan berfungsi sebagai alat komunikasi, sebelum berkembang menjadi sebuah kesenian. Ketika telah menjadi sebuah kesenian, fungsi komunikasi masih tetap ada, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa calon pengantin laki-laki telah tiba. Ini artinya, kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi sekaligus juga sebagai hiburan.
4. Pementasan
Kesenian tutunggulan ini juga digunakan dalam memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustusan). Kesenian tradisional yang disebut sebagai tutunggulan ini juga dipentaskan pada kegiatan yang berkenaan dengan khajatan, khususnya perkawinan, dan juga penyimpanan padi ke lumbung.
5. Kondisi Dewasa Ini
Untuk para generasi muda yang diharapkan dapat melestarikan (membina, melindungi, dan mengembangkannya) justru tidak banyak yang meminatinya. Kesenian yang di masa lalu tidak asing lagi bagi masyarakat Warungkondang ini.
Para generasi muda umumnya lebih menyukai keseniankontemporer ketimbang kesenian tradisional yang dianggapnya sebagai ketinggalan alias kuno atau kempungan. Dan kondisi yang demikian pada gilirannya membuat kesenian tutunggulan bagaikan ”kerokot yang tumbuh di atas batu” (hidup segan mati tak mau).