Suku Aceh merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang mendiami wilayah paling ujung barat dari rangkaian kepulauan kesatuan Republik Indonesia. Daerah Aceh atau disebut Nanggroe Aceh Darussalam sebagai wilayah pribumi suku Aceh memiliki akar sejarah yang istimewa bagi negara Indonesia. Oleh sebab itu status kedaerahannya sejak zaman kemerdekaan merupakan bagian daerah yang di istimewakan oleh pemerintahan Indonesia. Pada zaman dahulu Aceh lebih dikenal dengan sebutan Daerah Istimewa Aceh (D.I Aceh), namun semenjak daerah ini menerapkan hukum Islam dalam pemerintahan daerahnya, Aceh kemudian lebih dikenal sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh juga menyandang julukan sebagai negeri Serambi Mekah, hal ini karena Aceh memiliki nilai ideologis Islam yang begitu kental dan melekat hidup dalam sistem kemasyarakatannya. Nilai ideologis Islam yang hidup dalam sistem kemasyarakatan Aceh sangat mewarnai produk Kebudayaan Suku Aceh.
Suku Aceh sendiri dalam sejarahnya sebenarnya merupakan keturunan dari berbagai suku yang datang dan kemudian menetap di wilayah tanah Aceh. Namun, berdasarkan sejarah dan legenda masyarakat Aceh, suku Aceh tertua berasal dari suku Mante (Mantir) yang berasal dari melayu dan Suku Lhan (Lanun) yang berasal dari Semenanjung Malaya (wilayah Hindia). Meskipun demikian ketika terjadi perdagangan pada masa kerajaan Hindu, Budha hingga masuknya Islam, penduduk suku Aceh menjadi lebih bervariatif karena terjadinya pernikahan dengan para pedagang yang masuk ke tanah Aceh. Akibatnya tidak sedikit suku Aceh yang juga merupakan keturunan India, Persia, Arab maupun Turki.
Percampuran etnis kesukuan yang mendiami tanah Aceh kemudian terikat dalam satu kesatuan sistem kemasyarakatan Aceh mulai dari geografi, bahasa, serta agama yang kemudian membentuk adat istiadat dan tradisi kebudayaan suku Aceh yang memiliki kekhasan tersendiri bila dibandingkan dengan kebudayaan suku lain yang ada di Indonesia. Beberapa ikon kebudayaan khas dari tanah Aceh yang juga menjadi ikon kebudayaan bangsa Indonesia diantaranya akan kita kupas berikut ini :
1. Rumah Adat
Rumah adat Aceh biasa disebut dengan ‘Rumoh Aceh’ atau ‘Krong Bade’. Rumoh Aceh memiliki struktur rumah panggung yang biasanya berjarak 2,5 hingga 3 meter dari atas tanah. Keseluruhan rumoh aceh terbuat dari kayu, sedangkan atapnya berasal dari anyaman daun enau atau daun rumbia. Bagian kolong (bawah) rumoh Aceh biasa digunakan sebagai tempat untuk menyimpan bahan-bahan makanan. Sedangkan ruang atas (bagian panggung) merupakan ruang utama yang biasa digunakan untuk menerima tamu maupun beristirahat. Salah satu keunikan rumoh aceh adalah terletak pada jumlah anak tangga yang mengantarkan masuk ke ruang panggung utama. Anak tangga tersebut akan senantiasa berjumlah ganjil sebagai simbol nilai relijiusitas suku Aceh.
Struktur pembagian ruangan pada rumoh aceh biasa dibagi menjadi tiga ruang yang memiliki fungsi utama
- Seuramoe Keue
merupakan ruangan bagian depan dari rumoh Aceh. Ruangan ini biasa difungsikan sebagai tempat untuk menerima tamu atau biasa juga digunakan sebagai tempat berkumpul dan bercengkrama keluarga.
- Seuramoe Teungoh
merupakan ruangan inti dar rumoh Aceh. Ruangan ini terletak setalah ruangan depan yang ditandai dengan tinggi lantai yang berbeda. Seuramoe Teungoh hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga, sehingga tamu yang berkunjung sama sekali dilarang memasuki ruangan ini. Ruangan inti ini terdapat kamar untuk tempat tidur keluarga yang biasanya ketika terdapat keluarga yang meninggal biasa juga digunakan sebagai tempat untuk memandikan dan mengurus jenazah.
- Seuramoe Likot
merupakan ruang terakhir yang terletak di bagian paling belakang rumoh Aceh. Ruangan ini memiliki fungsi sebagai tempat untuk memasak, serta tempat untuk makan bersama keluarga. Ruangan ini tingginya sejajar dengan ruangan depan, sehingga lebih rendah dari ruangan inti.
Pelajari juga bentuk rumah adat suku lain pada artikel : Kebudayaan Suku Banjar, Kebudayaan Minangkabau, Kebudayaan Papua.
2. Pakaian Adat
Pakaian adat suku Aceh merupakan peninggalan sejarah dari kerajaan perlak dan Samudra Pasai. Pakaian adat pria Aceh biasa disebut dengan baju ‘Linto Baro’. Sedangkan untuk pakaian adat perempuan disebut dengan ‘Daro Baro’. Pakaian adat ini biasanya digunakan pada saat acara-acara istimewa seperti upacara adat ataupun acara-acara pemerintahan.
Pakaian ‘Linto Baro’ yang dikenakan oleh pria merupakan perpaduan dari baju atasan yang disebut ‘Meukasah’ dan bawahan celana yang disebut ‘cekak musang’ atau ada juga yang menyebut celana ‘sileuweu’. Baju meukasah memiliki desain ornamen sulaman benang emas yang mirip dengan desain pakaian cina. Konon hal ini merupakan hasil asimiliasi antara pakaian Melayu dan pakaian Cina. Perpaduan atasan dan bawahan ini kemudian dipadukan dengan kain sarung yang dilingkarkan di bagian pinggang. Setelan ini juga dilengkapi dengan penutup kepala yang disebut ‘Meukotop’. Meukotop merupakan semacam kopiah yang dililit dengan lilitan tangkulok yakni lilitan yang berasal dari tenunan sutra berhias bintang berbentuk persegi delapan yang biasanya berbahan emas atau kuningan.
Sedangkan pakaian wanita ‘Daro Baro’ merupakan perpaduan dari baju atasan yang berbentuk baju kurung berlengan panjang dan memiliki kerah baju yang juga bergaya seperti kerah baju pakaian Cina. Bagian bawah juga sama mengenakan celana cekak musang yang juga dibalut dengan kain sarung hingga selutut. Pada bagian kepala tidak menggunakan penutup kepala, hanya rambut yang dibentuk sanggul dan kemudian diberi semacam hiasan rambut. ‘Daro Baro’ biasanya juga dilengkapi dengan aksesoris perhiasan seperti kalung, gelang tangan, gelang kaki, anting-anting serta ikat pinggang yang berwarna kuning emas.
Pelajari juga bentuk pakaian adat suku lain pada artikel : Kebudayaan Suku Baduy, Kebudayaan Lampung, Kebudayaan Nusa Tenggara Timur
3. Upacara Adat
- Upacara Troen Bak Tanoeh
Merupakan upacara yang digelar pada masa kelahiran bayi. Upacara ini biasa juga disebut dengan upacara turun tanah dimana ibu bayi dan bayinya untuk pertama kali diperbolehkan keluar rumah. Dalam kepercayaan suku Aceh, ibu bayi yang baru saja melahirkan masih berada dalam kondisi kotor atau tidak suci atau biasa disebut masa nifas sehingga dilarang untuk keluar meninggalkan rumahnya. Setelah masa ini terlewati maka ibu bayi dan bayinya diperbolehkan keluar rumah dengan diiringi upacara troen bak tanoeh ini sebagai tanda bahwa ibu bayi telah suci kembali.
- Upacara Kelahiran
Terdapat beberapa tahapan dalam melaksanakan upacara kelahiran. Tahapan pertama disebut ‘upacara bahu’, upacara ini dilakukan pada saat usia kehamilah berada pada usia 4-5 bulan. Pada upacara bahu, mertua dari perempuan akan membuatkan makanan bagi menantunya yang berupa nasi lengkap dengan lauk pauk dan sejumlah buah yang dimasukkan dalam satu wadah yang disebut kating. Selanjutnya makanan ini diantarkan kepada menantu yang ditemani oleh para kerabat (kawon) dan para tetangga (Jiran) untuk kemudian nasi dalam kating disajikan dan disantap bersama. Upacara bahu biasanya diulang ketika kehamilan memasuki usia 7-8 bulan.
Tahapan kedua disebut dengan ‘peunulang’, bentuk adatnya hampir sama dengan upacara bahu, yang membedakan hanya yang menyerahkan dan menerima kating. Pada adat peunulang, yang menyerahkan adalah mertua dan besan sekaligus, sedangkan yang menerima adalah mablien (orang yang dianggap ahli dalam membantu proses persalinan). Peuneulang juga dilengkapi dengan penyerahan sirih setapak, sejumlah uang serta sesalin (satu stel pakaian). Sejak peunulang, maka mablien akan rajin menjenguk dan mengontrol kondisi ibu hamil serta membantu proses perawatannya hingga masa persalinan tiba.
Tahapan ketiga adalah prosesi kelahiran, pada proses kelahiran ini mablien memegang peranan yang amat penting dan sentral. Pada saat bayi lahir, mablien akan mengikat tali pusar bayi dengan jumlah ikatan ganjil, yakni 7 ikatan untuk putra dan 5 ikatan untuk putri, kemudian baru memotong tali pusat dengan menggunakan sembilu (alat pemotong yang berasal dari bambu). Pada hari ke 7 kelahiran akan dilakukan upacara menyangke rambut budak yaitu upacara mencukur rambut bayi sekaligus pemberian nama bayi, serta upacara peucicap yakni tradisi mengoleskan madu lebah pada bibir bayi.
Tahapan terakhir disebut ‘manao peut ploh peut’, yakni kegiatan memandikan ibu bayi dengan air yang bercampur irisan limau yang dilakukan oleh mablien sebagai simbol pensucian ibu bayi. Sebagai ungkapan terima kasih biasanya pihak keluarga akan memberikan sejumlah pemberian kepada mablien berupa uang dan bahan pangan.
- Upacara perkawinan
Upacara perkawinan suku Aceh terdiri dari beberapa tahapan :
- Ba Ranup, yakni tahapan melamar calon mempelai wanita.
- Jakba Tanda, yakni tahapan pertunangan antara kedua calon mempelai.
- Pesta pelaminan, yakni pesta yang dilakukan setelah kedua calon mempelai melaksanakan pernikahan sesuai dengan agama.
- Tueng Dara Baro, yakni tradisi penjemputan yang dilakukan oleh pihak laki-laki sesuai dengan hukum adat Aceh
- Tueng Linto Baro, yakni tradisi penjemputan yang dilakukan oleh pihak perempuan sesuai dengan hukum adat Aceh.
- Upacara Troen U Laoet
Merupakan upacara hajat semacam kenduri yang dilakukan pada saat musim melaut. Bertujuan sebagai rasa syukur agar hasil ikan di laut melimpah.
- Upacara Troen U Blang
Merupakan upacara hajat kenduri yang dilakukan ketika musim tanam padi dimulai. Bertujuan sebagai rasa syukur agar tanaman padi bisa panen dengan melimpah.
- Upacara Peusijuek
Merupakan tradisi memercikan air yang bercampur dengan tepung tawar kepada orang yang hendak melaksanakan hajat tertentu. Dipercayai tradisi ini agar orang yang sudah diberi peusijuek terhindar dari mara bahaya ketika melaksanakan hajatnya. Upacara peusijuek biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan upacara yang selainnya.
Segala bentuk upacara adat setiap unsur-unsurnya senantiasa memiliki filosofis dan menyiratkan makna kehidupan tertentu (baca : unsur-unsur kebudayaan). Oleh sebab itu setiap suku pasti memiliki tradisi upacara adat yang tetap dipertahankan secara turun temurun.
4. Tarian Adat
Tarian tradisional suku Aceh yang populer adalah tari Saman. Tari Saman memiliki unsur-unsur keindahan seni tari yang bisa dibilang unik. Tari saman merupakan tarian yang tata tarinya mengandalkan gerakan tepukan pada tangan dan tepukan pada dada, tanpa diiringi dengan permainan alat musik. Tari ini juga merupakan salah satu tarian tradisional Indonesia yang sudah terdaftar di UNESCO sebagai badan PBB yang mengurusi masalah budaya. Pada awalnya tari Saman merupakan tari yang dimiliki oleh etnik Gayo, yakni salah satu etnik tertua suku Aceh. Tari Saman dilakukan seluruhnya oleh pria, sedangkan wanita dilarang untuk memainkan tarian ini. Selain tari Saman, Aceh juga memiliki sejumlah tarian lain yang juga mengandalkan gerakan tangan seperti tari laweut, tari tarek pukat, tari meuseukat, tari likok pulo serta tari ratoh duek aceh.
5. Senjata Adat
Senjata tradisional suku Aceh adalah ‘Rencong’. Rencong adalah senjata berukuran kecil semacam keris yang mulai dipakai oleh Suku Aceh sejak zaman kesultanan Aceh. Rencong merupakan salah satu pelengkap dalam pakaian adat pria suku Aceh. Selain rencong, suku Aceh juga menggunakan Siwah, yakni senjata semacam rencong namun memiliki ukuran yang lebih panjang. Selain itu ada Peudeung, yang bentuknya menyerupai pedang dan berukuran lebih panjang dari Siwah.
Pelajari juga senjata suku lain : Kebudayaan Sunda, Kebudayaan Sumatera Selatan
6. Makanan Adat
Makanan adat yang sering disajikan oleh masyarakat Aceh memiliki corak masakan yang sama seperti masakan India. Diantaranya seperti roti canai dan gulai atau kari kambing. Selain itu masyarakat Aceh juga sering menyajikan makanan yang berbahan dasar ikan seperti eungkot paya. Sedangkan dalam hal minuman, masyarakat Aceh terbiasa mengkonsumsi kopi baik kopi hitam maupun kopi tarik yang dicampur dengan susu.
Semenanjung Aceh merupakan pintu masuk jalur perdagangan dunia pada zaman dahulu, maka wajar bila karakteristik kebudayaan suku Aceh ini memiliki berbagai perpaduan budaya yang unik berunsur melayu, India, Cina dan Arab, karena bangsa-bangsa tersebutlah yang pada masa dahulu sering melakukan pelayaran untuk melakukan perdagangan dan Aceh merupakan syahbandar yang selalu dijadikan tempat bersandar kapal dan kegiatan berdagang rempah-rempah maupun barang dagangan yang lain. Kebudayaan suku Aceh merupakan warisan yang terus dijaga oleh pemerintahan formal maupun pemerintahan adat yang ada di Aceh agar ikon-ikon budaya yang menjadi salah satu nilai keistimewaan masyarakat Aceh ini tidak hilang tergerus zaman.