Hanya ada satu karya sastra peninggalan kerajaan Sriwijaya dalam bentuk kitab, yakni Pramanavartika yang ditulis oleh Dharma Kirti. Sedangkan karya sastra lainnya berbentuk prasasti. Prasasti sendiri merupakan sebuah piagam yang ditulis pada batu atau tembaga. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa prasasti bukan merupakan jenis-jenis seni sastra ataupun bentuk-bentuk sastra. Tetapi ada pula yang mengatakan sebaliknya. Contoh seni sastra pada umumnya merupakan aksara atau naskah yang ditulis di atas kertas ataupun di atas daun lontar. Berbeda dengan prasasti yang di ukir atau di tulis di atas batu. Unsur-unsur seni sastra yang kita ketaui tentunya juga tetap ada disetiap karya sastra lama ini. Di tambah dengan sentuhan ukiran pada badan prasasti.
Sebuah karya sastra peninggalan sebuah kerajaan tentunya memiliki kaitan erat dengan budaya kerajaan tersebut. Seperti kita ketahui bahwa kerajaan sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Budha Indonesia. Dan hal itu jelas mempengaruhi kandungan atau isi dari setiap karya sastra yang diciptakan. Seperti halnya seni sastra jawa yang pasti berbeda dengan seni sastra sumbawa lawas apalagi dengan seni sastra peninggalan islam.
Kebudayaan juga tidak luput mempengaruhi karya seni sastra. Karena jelas kebudayaan menjadi dalah satu poin dalam unsur ekstrinsik senbuah karya sastra. Kebudayaan yang dimaksud bermacam-macam, mulai dari kebudayaan suku jawa, kebudayaan suku sunda, kebudayaan suku batak, kebudayaan suku toraja, kebudayaan nusa teggara timur, dll. Sebenarnya seni sastra tidak terbatas pada bentuk tulisan. Seni sastra juga dapat berupa lisan. Misalnya saja Drama. Nah, pada kali ini kita akan membahas karya sastra peninggalan kerajaan sriwijaya. Apa saja? Ini dia :
- Kitab Pramanavartika
Pramanavartika merupakan karya sastra dalam bentuk kitab. Ditulis oleh Dharma Kirti dan merupakan salah satu dari banyak peninggalan kerajaan sriwijaya. Kitab ini merupakan satu-satunya karya sastra dalam bentuk kitab pada peninggalan kerajaan sriwijaya. Tidak ada sumber jelas yang menyatakan isi dari kitab ini. Tetapi perlu diketahui bahwa dengan adanya kitab ini, berarti membuktikan bahwa memang benar bahwa penyebaran ajaran hindu ataupun budha di Indonesia turut berpengaruh pada seni sastra. Dan kitab ini merupakan salah satu karya sastra peninggalan hindu-buddha di Indonesia.
- Prasasti Kota Kapur
Ditemukan di Pulau Bangka bagian barat dan ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Pada tahun 1892 prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Maulen. Menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau perintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Sampai dengan tahun 2012, prasasti ini masih ada di Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda.
Dengan status dipinjamkan oleh museum Nasional Indonesia. Informasi yang dapat diketahui dari ditemukannya prasasti ini adalah bahwa Kerajaan Sriwijaya sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan Juga Belitung. Selain itu, dikatakan juga bahwa Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi militer yakni menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya.
- Prasasti Ligor
Selanjutna adalah prasasti Ligor yang ditemukan di Nakhon Si Thammarat yang merupakan wilayah Thailand bagian selatan. Prasasti ini memiliki pahatan dikedua bagian sisinya. Masing-masing diberi nama Prasasti Ligor A dan Prasasti Ligor B. Diduga bahwa prasasti ini ditulis oleh Raja dari wangsa Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Wisnu Sesawaimandawimathana untuk Sri Maharaja. Sedangkan Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja dari semua raja di Dunia yang menderikan Trisamaya Citya untuk Kajara.
- Prasasti Palas Pasemah
Isi dari prasasti yang ditemukan di pinggir Rawa Desa Palas Pasemah ini adalah tentang kutukan dari orang yang tdiak mau tunduh dengan kekuasaan sriwijaya. Senada dengan prasasti kota kapur. Diperkirakan prasasti ini ditulis pada abad ke-7 Masehi dan ditulis menggukanan bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa. Terdiri dari 13 baris tulisan.
- Prasasti Hujung Langit
Hujung Langit merupakan sebuah prasasti yang ditemukan di sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung. Sama hal dengan prasasti sebelumnya, prasasti ini pun di tulis menggunakan bahasa melayu kuno dan aksara Pallawa. Sedangkan isinya sendiri tidak diketahui dengan jelas karena kerusakan parah ketika ia ditemukan. Namun dapat diperirakan prasasti yang berasal dari tahun 997 masehi ini menceritakan tentang pemberian tanah sima.
- Prasasti Telaga Batu
Tahun 1935 yang lalu, di sebuah kolah bernama Talaga Batu, kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, kota palembang, ditemukan sebuah prasasti yang kemudian disebut sebagai prasasti Talaga Batu. Menceritakan tentang kutukan untuk orang-orang yang telah berbuat jahat di kedaulatan sriwijaya. Di sekitaran lokasi yang sama juga ditemukan prasasti lain menceritakan tentang keberadaan sebuah vihara.
Dan ternyata sebelumnya, 30 tahun sebelumnya, ditemukan pula 30 buah prasasti Siddhayatra. Kini, semuanya disimpan di Museum Nasional Jakarta. Masih ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Uniknya, prasasti ini merupakan prasasti kutukan lengkap. Sebab disana juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang tertuls di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan Ibukota kerajaan.
- Prasasti Kudukan Bukit
Kedudukan Bukit merupakan prasasti yang di temukan di Kampung Kedudukan Bukit, Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 29 November 1920. Tepatnya, prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Diceritakan bahwa seseorang dari utusan kerajaan sriwijaya yakni Dapunta Hyang yang mengadakan Sidhayarta atau perjalanan suci meggunakan perahu. Disebutkan bahwa dalam perjalanan tersebut ia didampingi dengan 2000 pasukan dan berhasil menaklukan beberapa daerah lainnya.
- Prasasti Talang Tuwo
Louis Constant Westenenk yang merupakan residen Palembang menemukan prasasti Talang Tuwo ini pada tanggal 17 November 1920. Mengisahkan tentang doa dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang dipakai pada masa sriwijaya kala itu dengan penggunaan kata khas aliran Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta Annuttarabhisamyaksamvodhi. Memiliki 14 baris kalimat. Van Ronkel serta Bosh adalah sarjana pertama yang berhasil menerjemahkan prasasti tersebut. Terjemahannya telah dimuat pada Acta Orientalia. Kenapa prasasti ini disebut sebagai doa dedikasi karena isinya memang memuat tulisan niat dari Baginda yakni :
“Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat dipindahkan tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.”
“jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.”
“Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.”
“Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan smeoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, dimanapun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.”
- Prasasti Leiden
Ditulis di atas lempengan tembaha dalam bahasa sansekerta serta Tamil. Prasasti ini menjadi salah satu peninggalan bersejarah kerajaan sriwijaya dan kini berada di museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya.
- Prasasti Berahi
Kontrolir L.M Berhout menemukan prasasti ini pada tahun 1904 di tepi Batang Merangin, Dusun Batu Bersurat, Jambi. Sama halnya dengan prasasti Talaga Batu, Kota Kapur dan prasasti Palas Pasemah, prasasti ini juga menceritakan tentang kutukan bagi mereka yang melakukan kejahatan dan tidak setia kepada Raja Sriwijaya.
Dewasa ini, kisah kerajaan atau sejarah sebuah peristiwa di daerah dapat kita jumpai dalam bentuk lain selain tulisan, yaitu dalam bentuk film ataupun tayangan lain di televisi.
Itulah semua Karya sastra peninggalan kerajaan sriwijaya yang terekam dalam sejarah. Sampai dengan saat ini semua prasasti terdapat di Museum Nasional Jakarta. Manfaat belajar seni sastra sejarah ini sangatlah banyak. Selain dapat memperluas pengetahuan dan wawasan kita terhadap sejarah bangsa Indonesia, kita juga dapat memetik nilai-nilai baik yang diselipakan disetiap karya sastra yang ada.
Bukan hanya itu sebenarnya, teater datau drama yang merupakan bentuk lain dari seni sastra juga memiliki manfaat khusus. Manfaat seni teater dalam kehidupan sehari-hari membantu pelakunya untuk terus dapat mengembangkan diri. Teruslah mengapresiasi karya-karya seni yang ada. Karena kita tahu pentingnya peran dan fungsi kritik sastra itu sendiri. Apalagi karya sastra merupakan salah satu bagian dari sub sektor industri kreatif yang terus berkembang sampai dengan saay ini. Tentunya kita ingin agar Indonesia maju dan besar karen karya-karyanya. Agar karya anak bangsa bisa mendunia seperti kebanyakan budaya indonesia yang mendunia. Maka teruslah berkarya dan mengapresiasi karya orang lain.